SEDARI kita mencapai usia akil baligh hingga sisa
nafas hari ini sudahkah pikiran terbetik bahwa kita memiliki hutang
kepada Allah SAWT yang tak terbayar? Pernakah di sela-sela waktu kosong
dan senggang kita berfikir, “sudah berapa dosa yang telah aku perbuat
sejak lahir hingga sekarang?”
Setidaknya, pernahkah ketika hari menjelang malam, ketika kita akan
menutup mata di pembaringan untuk istirahat, kita mengingat-ingat amalan
buruk kita selama sehari ini? “Apa tindakan buruk hari ini? Siapa yang
aku sakiti hari ini? Dan apa kira-kira dosaku hari ini?”
Ataukah jangan-jangan, kita termasuk orang yang merasa cukup dengan
pengabdian dan amal yang kita lakukan?
Coba bandingkan diri kita dengan Rasulullah SAW, sosol yang sudah
jelas-jelas dijamin syurga dan kehidupan akhiratnya oleh Allah. Beliau
masuk melakukan introspeksi diri sehari dengan memohon ampunan selama
seratus kali (HR. Muslim). Dalam riwayat Imam Bukhari disebut tujuh
puluh kali.
Istighfar dan muhasabah Rasulullah SAW seperti tersebut merupkan
sikap syukur kepada Allah SWT atas nikmat-nikmat yang diberikan
sekaligus sebagai contoh untuk umatnya. Nabi SAW adalah pribadi yang
ma’shum bebas dari dosa. Meski begitu menurut sebagian ulama’, disamping
sebagai uswah, istighfarnya adalah untuk perkara-perakara yang mubah
dilakukan Rasulullah SAW, bukan untuk kesalahannya. Maka, kita mestinya
lebih banyak lagi melakukan penyadaran diri ini. Karena kita manusia
yang tidak ma’shum, tidak memiliki jaminan di akhirat kelak.
Jika kita yang manusia biasa, tidak sekalipun bermuhasabah dalam
sehari, maka kita sesungguhnya dalam keadaan ’tidur’. Tidak melihat
sedang dimana kita, siapa kita dan akan kemana nantinya diri ini. Atau
kita adalah orang sombong, sehingga tidak perlu bermuhasah.
Umar bin Khattab r.a pernah berkata: ”Hisablah diri kalian sebelum
kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan
berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung.”
Melakukan muhasabah dalah bertujuan untuk mengetahui berbagai
kelemahan, kekurangan, dosa dan kesalahan yang ia lakukan. Sehingga, hal
tersebut menjadi evaluasi yang menjadi pendorong menjadi lebih baik
lagi.
Akan tetapi tujuan tertinggi dari hal tersebut adalah menjadi mu’min
sejati yang diridlai-Nya. Cita-cita menjadi mu’min sejati dapat digapai
dengan proses penyadaran diri yang disebut muhasabah. Dalam proses ini
ada hal-hal yang perlu diperhatikan.
Proses Penyadaran Diri
Menjadi lebih baik itu dengan penyadaran diri. Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah mengatakan, ada empat aspek yang dilalui dalam proses
penyadaran diri ini. Yaitu, al-yaqdzah, al-’azm, al-fikrah dan
al-bashirah. Empat rangkaina inilah yang mesti menjadi unsur muhasabah.
Yang pertama al-yaqdzah, yaitu perasaan hati berupa penyesalan
setelah ia bangun dari ’tidur’. Ini merupakan proses awal untuk
membenahi perilaku yang telah dikerjakan. Yang ditekankan di sini adalah
pengakuan bahwa dirinya hamba Allah SWT yang butuh pentunjuk-Nya karena
telah berbuat dosa. Jika telah sadar, maka dia mesti punya tekad bulat.
Kedua al-’azm, yaitu niat kuat untuk melakukan perbaikan. Karena
tekadnya telah bulat, maka segala hambatan dan rintangan siap dihadapi.
Sebab dalam proses perbaikan, bisa dipastikan seseorang mengalami
cobaan. Maka dia harus memiliki seorang penuntun yang dapat
menghantarkan kepada tujuan. Makin kuat kesadaran, maka makit kuat pula
niatnya.
Ketiga, al-fikrah, yaitu fokus pada tujuan perbaikan. Hati hanya
tertuju kepada sesuatu yang hendak dicari. Sekalipun dia belum memiliki
gambaran jalan yang menghantarkan ke sana. Selama proses ini, seseorang
tidak memikirkan yang lain dari muhasabahnya kecuali menjadi pribadi
yang lebih baik dari kemarin yang diridlai Allah SWT. Jika konsentrasi
muhasabahnya masih diliputi tendensi-tendesi diluar kepentingan
perbaikan diri, maka pasti pikiran lebih condong kepada
tendensi-tendensi tersebut.
Keempat, al-bashirah yaitu semacam cahaya dalam hati untuk melihat
janji dan ancaman, surga dan neraka. Fase ini tidak dimiliki jika pada
fase sebelumnya dia tidak serius membersihkan dosa. Menyucikan jiwa dari
kotoran hati. Sehingga ia memiliki pandangan jauh ke depan, segala
sesuatunya dipertimbangan berdasarkan tujuan final hidup ini.
Seperti firman Allah SWT: ”Hai orang-orang beriman, bertakwalah
kepada Allah SWT dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari kiamat.” (QS. Al-Hasyr: 18).
Pilar Muhasabah
Berkenanaan dengan itu, sesungguhnya muhasabah itu dilakukan terus
menerus. Ia bagian dari pertaubatan diri. Sehinggi dibutuhkan
konsistensi dan keteguhan. Sebab jalan itu licin, banyak duri dan penuh
cobaan.
Maka perlu ada penopang untuk meneguhkan konsistensi muhasabah. Abu
Isma’il dalam Manazilu al-Sa’irin seperti dikutip Ibn Qayyim
al-Jauziyyah dalam Madariku al-Salikin mengatakan ada tiga pilar yang
menopang muhasabah yang perlu kita kerjakan setiap kita melakukan
instrospeksi;
Pertama, Menimbang antara nikmat Allah dan kemaksiatan kita. Saat
muhasabah kita akan mengetahui ketimpangan antara keduanya. Bahwa
ternyata kejahatan yang kita lakukan jauh lebih banyak dibanding karunia
nikmat Allah yang kita peroleh.
Dengan membandingkan itu kita bisa mengetahui mana yang lebih banyak
dan mana yang dominan di antara keduanya. Untuk bisa melakukan
perbandingan dengan baik, kita mesti mengetahui antara apa itu nikmat
Allah, ujian dan kemaksiatan. Selain itu jauhilah buruk sangka.
Kedua, membedakan antara bagian kita dan kewajiban. Banyak orang
mencampur adukkan antara kewajiban dan haknya. Bagian kita adalah
perkara-pekara mubah menurut ketetapan syari’ah. Terkadang kita terbalik
memperlakukannya.
Ketiga, tidak buru-buru puas terhadap ketaatan yang dilakukan.
Sesungguhnya jika kita puas terhadap setiap ibadah yang kita lakukan
makan itu akan menjadi beban dosa. Kita akan menjadi takabur dan ujub.
Justru, para ulama salaf al-shalih kita memperbanyak istighfar setiap
selesai mengerjakan berbagai macam ketaatan. Sebab mereka merasa sangat
kekurangan memenui hak-hak Allah.
Setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah SWT
untuk mempertanggung jawabkan amal perbuatan. Maka hal yang paling depan
untuk kita muhasabahi adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan
tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini.
Jika kita telah melewati proses penyadaran diri seperti tersebut di
atas kemudian dikuatkan dengan pilar-pilarnya, maka berarti kita telah
memasuki pintu taubat dengan serius. Taubat merupakan langkah kembalinya
hamba kepada Allah SWT dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat
murka dan sesat. Kita tidak bisa memperolehnya kecuali dengan hidayah
Allah SWT. Sedangkan hidayah-Nya tidak bisa kita peroleh kecuali dengan
memohon pertolongan-Nya secara terus-menerus. Karena begitu urgensinya
dan tidak mudahnya untuk konsisten di jalan al-shirath al-mustaqim, maka
kita mestinya setiap hari melakukan muhasabah, jika kita bercita-cita
menjadi mu’min sejati.(Kholili Hasib/hdytlh)
www.wahdah.or.id
Thursday, 10 May 2012
Jangan Lewatkan Hari Tanpa Muhasabah
Labels:
Tazkiyah
Location:
Jalan Antang Raya, Makassar, Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Powered by Blogger.









0 comments:
Post a Comment